Definisi Istihsan
Istihsan secara
bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik
dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti “kecenderungan
seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa
bersifat lahiriah (hissiy)ataupun maknawiah; meskipun hal itu dianggap
tidak baik oleh orang lain.”[Lih. Lisan al-‘Arab, 13/117]
Adapun menurut istilah, Istihsan memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah:
- Mengeluarkan
hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya
kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam
pandangan mujtahid.[. Lih.Kasyf al-Asrar, 4/3. dan Raudhah al-Nazhir,
1/497.]
- Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.[Al-Mustashfa, 1/138.]
- Meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya
- Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil
Dari
definisi-definisi tersebut, kita dapat melihat bahwa inti dari Istihsan
adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum
tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam
pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.
Sebagai
contoh misalnya, pendapat yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal
(w. 264 H) bahwa tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat
atas dasar Istihsan, padahal secara qiyas tayammum itu sama kedudukannya
dengan berwudhu dengan menggunakan air yang tidak wajib dilakukan pada
setiap waktu shalat, kecuali jika wudhunya batal. Dengan kata lain,
tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan pada setiap waktu
shalat, namun atas dasar Istihsan, Imam Ahmad memandang ia wajib
dilakukan setiap waktu shalat berganti.[Lih. Raudhah al-Nazhir, 1/497]
Kedudukan Argumentatif (Hujjiyah) Istihsan Lintas Madzhab
Menyikapi
penggunaan Istihsan kemudian menjadi masalah yang diperselisihkan oleh
para ulama. Dan dalam hal ini, terdapat dua pandangan besar yang berbeda
dalam menyikapi Istihsan sebagai salah satu bagian metode ijtihad.
Berikut ini adalah penjelasan tentang kedua pendapat tersebut beserta
dalilnya.
Pendapat pertama, Istihsan dapat digunakan sebagai bagian dari ijtihad dan hujjah.
Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.[Lih.
Badai’ al-Shanai’, 7/84, al-Muwafaqat, 4/209, Ushul Madzhab al-Imam
Ahmad, hal. 509.]
Dalil-dalil yang dijadikan pegangan pendapat ini adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah:
“Dan ikutilah oleh kalian apa yang terbaik yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian.” (al-Zumar:55)
Menurut mereka,
dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik,
dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada
hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini
menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.
2. Firman Allah:
“Dan berikanlah
kabar gembira pada hamba-hamba(Ku). (Yaitu) mereka yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti yang terbaik (dari)nya...”(al-Zumar: 17-18)
Ayat ini –menurut
mereka- menegaskan pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan
mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan
kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
3. Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
“Apa yang
dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah
adalah baik.”[ HR. Ahmad dalam al-Musnad, Kitab al-Sunnah.]
Hadits ini
menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan
akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan
kehujjahan Istihsan.
4. Ijma’.
Mereka mengatakan bahwa para ulama telah berijma’ dalam beberapa masalah yang dilandasi oleh Istihsan, seperti:
- Bolehnya masuk ke dalam hammam [Hammam adalah semacam pemandian umum pada waktu yang lalu, biasanya dilengkapi dengan fasilitas air hangat. (pen)] tanpa ada penetapan harga tertentu, penggantian air yang digunakan dan jangka waktu pemakaiannya.
-
Demikian pula dengan bolehnya jual-beli al-Salam (pesan barang bayar di
muka), padahal barang yang dimaksudkan belum ada pada saat akad.
Pendapat kedua, Istihsan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berijtihad.
Pendapat ini dipegangi oleh Syafi’iyah dan Zhahiriyah.[Lih. Al-Risalah, hal. 219, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, 2/892]
Para pendukung pendapat ini melandaskan pendapatnya dengan dalil-dalil berikut:
1. Bahwa
syariat Islam itu terdiri dari nash al-Qur’an, al-Sunnah atau apa yang
dilandaskan pada keduanya. Sementara Istihsan bukan salah dari hal
tersebut. Karena itu ia sama sekali tidak diperlukan dalam menetapkan
sebuah hukum.
2. Firman Allah:
“Wahai kaum
beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul serta
ulil amri dari kalangan kalian. Dan jika kalian berselisih dalam satu
perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya...” (al-Nisa’ :
59)
Ayat ini
menunjukkan kewajiban merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya dalam
menyelesaikan suatu masalah, sementara Istihsan tidak termasuk dalam
upaya merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak
dapat diterima.
3. Jika
seorang mujtahid dibenarkan untuk menyimpulkan hukum dengan akalnya atas
dasar Istihsan dalam masalah yang tidak memiliki dalil, maka tentu hal
yang sama boleh dilakukan oleh seorang awam yang boleh jadi lebih cerdas
daripada sang mujtahid. Dan hal ini tidak dikatakan oleh siapapun,
karena itu seorang mujtahid tidak dibenarkan melakukan Istihsan dengan
logikanya sendiri.
4. Ibn Hazm
(w. 456 H) mengatakan: “Para sahabat telah berijma’ untuk tidak
menggunakan ra’yu, termasuk di dalamnya Istihsan dan qiyas. Umar bin
al-Khathab radhiyallahu ‘anhu mengatakan: ‘Jauhilah para pengguna ra’yu!
Karena mereka adalah musuh-musuh Sunnah...’ ....”[Al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam, 5/759.]
Demikianlah
dua pendapat para ulama dalam menyikapi hujjiyah Istihsan dalam Fiqih
Islam beserta beberapa dalil dan argumentasi mereka masing-masing.
Lalu manakah yang paling kuat dari kedua pendapat tersebut?
Jika
kita mencermati pandangan dan dalil pendapat yang pertama, kita akan
menemukan bahwa pada saat mereka menetapkan Istihsan sebagai salah satu
sumber hukum, hal itu tidak serta merta berarti mereka membebaskan akal
dan logika sang mujtahid untuk melakukannya tanpa batasan yang jelas.
Setidaknya ada 2 hal yang harus dipenuhi dalam proses Istihsan:
ketiadaan nash yang sharih dalam masalah dan adanya sandaran yang kuat
atas Istihsan tersebut (sebagaimana akan dijelaskan dalam “Jenis-jenis
Istihsan).[Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/49]
Dan
jika kita kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang
menolak Istihsan, kita dapat melihat bahwa yang mendorong mereka
menolaknya adalah karena kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika
seorang mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap nash dan lebih
memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini telah
terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa Istihsansendiri
mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung
pendapat kedua ini sebenarnya hanya menolak Istihsan yang hanya
dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih
kuat.
Karena
itu, banyak ulama –termasuk di dalamnya dari kalangan Hanafiyah-
memandang bahwa khilaf antara Jumhur Ulama dengan Syafi’iyah secara
khusus dalam masalah ini hanyalah khilaf lafzhy (perbedaan yang bersifat
redaksional belaka), dan bukan perbedaan pendapat yang
substansial.[22Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/91-97.] Apalagi
–sebagaimana juga akan dijelaskan kemudian- ternyata Imam al-Syafi’i (w.
204 H) sendiri ternyata menggunakanIstihsan dalam beberapa ijtihadnya.
Karena itu, al-Syaukany mengatakan: Jika
(yang dimaksud dengan) Istihsan adalah mengatakan sesuatu yang dianggap
bagus dan disukai oleh seseorang tanpa landasan dalil, maka itu adalah
sesuatu yang batil, dan tidak ada seorang (ulama)pun yang menyetujuinya.
Namun jika yang dimaksud dengan Istihsan adalah meninggalkan sebuah
dalil menuju dalil lain yang lebih kuat, maka ini tidak ada seorang
(ulama)pun yang mengingkarinya.[ Irsyad al-Fuhul, hal. 212.]
Imam al-Syafi’i dan Istihsan
Salah satu ungkapan Imam al-Syafi’i yang sangat masyhur seputar Istihsanadalah:
من استحسن فقد شرع
“Barang siapa
yang melakukan Istihsan, maka ia telah membuat syariat (baru).”[ Lih.
Al-Risalah, hal. 25.] Maksudnya ia telah menetapkan dirinya sebagai
penetap syariat selain Allah.
Disamping
penegasan ini, beliau juga memiliki ungkapan-ungkapan lain yang
menunjukkan pengingkaran beliau terhadap Istihsan. Akan tetapi, dalam
beberapa kesempatan, Imam al-Syafi’i ternyata juga melakukan ijtihad
dengan meninggalkan qiyas dan menggunakan Istihsan. Berikut ini adalah
beberapa contohnya:
1. Pandangan
beliau seputar penetapan kadar mut’ah atau harta yang wajib diberikan
sang suami kepada istri yang telah diceraikan –demi menolong, memuliakan
dan menghilangkan rasa takutnya yang diakibatkan perceraian itu-.
Sebagian fuqaha
mengatakan bahwa mut’ah semacam ini tidak memiliki batasan yang tetap
dan dikembalikan pada ijtihad sang qadhi. Ulama lain membatasinya dengan
sesuatu yang mencukupinya untuk mengerjakan shalat. Namun Imam
al-Syafi’i beristihsan dan memberikan batasan 30 dirham bagi yang
berpenghasilan sedang, seorang pembantu bagi yang kaya, dan sekedar
penutup kepala bagi pria yang miskin. Beliau mengatakan:
“Saya tidak
mengetahui kadar tertentu (yang harus dipenuhi) dalam pemberian
‘mut’ah’, akan tetapi saya memandang lebih baik (Istihsan) jika kadarnya
30 dirham, berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar.”[Lih.
Al-Umm, 5/52. Riwayat ini disebutkan dalam Talkish al-Habir (3/219),
dimana ada seorang pria datang kepada Ibnu Umar dan menyebutkan bahwa ia
telah menceraikan istrinya, maka Ibn ‘Umar mengatakan: “Berilah ia
sekian...”. Dan setelah dihitung, jumlahnya sekitar 30 dirham.]
2. Istihsan beliau dalam perpanjangan waktu syuf’ah selama 3 hari. Beliau mengatakan:
“Sesungguhnya ini hanyalah Istihsan dari saya, dan bukan sesuatu yang bersifat mendasar.”[ Lih. Al-Umm, (3/232)]
3. Istihsan
beliau dalam peletakan jari telunjuk muadzin dalam lubang telinganya
saat mengumandangkan adzan. Beliau mengatakan:
“Bagus jika ia (muadzin) meletakkan kedua telunjuknya ke dalam lubang telinganya (saat adzan).” [ Lih. Al-Umm, 1/66.]
Hal ini
dilandaskan pada perbuatan Bilal r.a yang melakukan hal tersebut di
hadapan Rasulullah saw.[Lih. Talkhish al-Habir, 1/217]
Bila kedua hal
ini –pengingkaran dan penerapan Imam al-Syafi’i terhadapIstihsan-
dicermati dengan seksama, maka ini semakin menegaskan bahwa Istihsan
yang diingkari oleh al-Syafi’i adalah Istihsan yang hanya berlandaskan
hawa nafsu semata, dan tidak dilandasi oleh dalil syar’i. Karena itu,
kita belum pernah menemukan riwayat dimana beliau –misalnya- mencela
berbagai Istihsan yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah –semoga Allah
merahmati mereka semua-.[Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/50, 91-96]
Jenis-jenis Istihsan
Para ulama yang
mendukung penggunaan Istihsan sebagai salah satu sumber penetapan hukum
membagi Istihsan dalam beberapa bagian berdasarkan 2 sudut pandang yang
berbeda:
Pertama, berdasarkan dalil yang melandasinya.
Dari sisi ini, Istihsan terbagi menjadi 4 jenis:
1. Istihsan
dengan nash. Maknanya adalah meninggalkan hukum berdasarkan qiyas dalam
suatu masalah menuju hukum lain yang berbeda yang ditetapkan oleh
al-Qur’an atau al-Sunnah.
Diantara
contohnya adalah: hukum jual-beli al-salam. Yaitu menjual sesuatu yang
telah jelas sifatnya namun belum ada dzatnya saat akad, dengan harga
yang dibayar dimuka. Model ini tentu saja berbeda dengan model jual-beli
yang umum ditetapkan oleh Syariat, yaitu yang mempersyaratkan adanya
barang pada saat akad terjadi. Hanya saja, model jual beli ini
dibolehkan berdasarkan sebuah hadits Nabi saw yang pada saat datang ke
Madinah menemukan penduduknya melakukan hal ini pada buah untuk masa
satu atau dua tahun. Maka beliau berkata:
“Barang siapa
yang melakukan (jual-beli) al-salaf [Al-Salaf adalah istilah lain untuk
jual-beli al-salam. (pen).], maka hendaklah melakukannya dalam takaran
dan timbangan yang jelas (dan) untuk jangka waktu yang jelas pula.” (HR.
Al-Bukhari no. 2085 dan Muslim no. 3010)
2. Istihsan
dengan ijma’. Maknanya adalah terjadinya sebuah ijma’ –baik yangsharih
maupun sukuti- terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah
umum.
Di antara
contohnya adalah masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa
adanya pembatasan waktu dan kadar air yang digunakan. Secara qiyas
seharusnya hal ini tidak dibenarkan, karena adanya ketidakjelasan
(al-jahalah) dalam waktu dan kadar air. Padahal para penggunanya tentu
tidak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini dibolehkan atas
dasar Istihsan pada ijma yang berjalan sepanjang zaman dan tempat yang
tidak mempersoalkan hal tersebut.[Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/82.]
3. Istihsan
dengan kedaruratan. Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu
kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas,
demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.
Salah satu
contohnya adalah ketika para ulama mengatakan bahwa seorang yang
berpuasa tidak dapat dikatakan telah batal puasanya jika ia menelan
sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari; seperti debu dan asap. Maka
jika benda-benda semacam ini masuk ke dalam tenggorokan orang yang
berpuasa, puasanya tetap sah dan tidak menjadi batal karena hal
tersebut. Dan ini dilandaskan pada Istihsan dengan kondisi darurat
(sulitnya menghindari benda semacam itu), padahal secara qiyas
seharusnya benda apapun yang masuk ke dalam tenggorokan orang yang
berpuasa, maka itu membatalkan puasanya.[ Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar
2/85.]
4. Istihsan
dengan ‘urf atau konvensi yang umum berlaku. Artinya meninggalkan apa
yang menjadi konsekwensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena
‘urf yang umum berlaku –baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun
perbuatan-.
Salah satu contoh
Istihsan dengan ‘urf yang bersifat yang berupa perkataan adalah jika
seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke dalam rumah manapun, lalu
ternyata ia masuk ke dalam mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak
dianggap telah melanggar sumpahnya, meskipun Allah menyebut mesjid
dengan sebutan rumah (al-bait) dalam firman-Nya:
“Dalam rumah-rumah yang Allah izinkan untuk diangkat dan dikumangkan Nama-Nya di dalamnya.” (al-Nur:36)
Namun ‘urf yang
berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa penyebutan kata “rumah”
(al-bait) secara mutlak tidak pernah digunakan untuk mesjid. Itulah
sebabnya, orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya
jika ia masuk ke dalam mesjid.[Lih. Al-Muwafaqat, 4/117]
Adapun contoh
Istihsan dengan ‘urf yang berupa perbuatan adalah memberikan upah
berupa pakaian dan makanan kepada wanita penyusu(murdhi’ah). Pada
dasarnya, menetapkan upah yang telah tertentu dan jelas itu dibolehkan
secara syara’. Sementara pemberian upah berupa pakaian dan makanan dapat
dikategorikan sebagai upah yang tidak jelas batasannya (majhul). Dan
kaidah yang umum menyatakan bahwa sesuatu yang majhultidak sah untuk
dijadikan sebagai upah. Akan tetapi Imam Abu Hanifah membolehkan hal itu
atas dasar Istihsan, karena sudah menjadi ‘urf untuk melebihkan upah
untuk wanita penyusu sebagai wujud kasih-sayang pada anak yang
disusui.[Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/87.]
Penutup
Dari uraian
singkat di atas, pada bagian penutup ini kita dapat menyimpulkan
beberapa hal terkait dengan pembahasan istihsan ini sebagai berikut:
1. Bahwa
istihsan sebagai salah satu metode ijtihad dengan menggunakan ra’yu dan
menjadi sebuah metode yang dapat dikatakan berdiri sendiri era para imam
mujtahidin, terutama di tangan Imam Abu Hanifah rahimahullah.
2. Bahwa
istihsan sesungguhnya dapat dikatakan mewakili sisi kemudahan yang
diberikan oleh Islam melalui syariatnya, terutama istihsan yang
dikaitkan dengan kondisi kedaruratan dan ‘urf.
3.
Bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan pendapat para
ulama seputar kehujjiyahan istihsan sifatnya redaksional dan tidak
substansial. Sebab ulama yang berpegang pada istihsan tidak bermaksud
melandaskannya hanya dengan hawa nafsu belaka.
Sementara yang menolaknya juga dimotivasi oleh kehati-hatian mereka
agar sang mujtahid tidak terjebak dalam penggunaan ra’yu yang tercela.
Karena itu, kita juga telah menemukan bahwa Imam al-Syafi’i –yang
dianggap sebagai ulama yang pertama kali mempersoalkan istihsan-
ternyata juga menggunakannya dalam berbagai ijtihadnya.
Demikianlah
kesimpulan ini, semoga dapat menjadi langkah awal bagi penulisnya
–secara khusus- untuk semakin memahami keindahan Islam melalui disiplin
ilmu Ushul Fiqih.